Selasa, 24 Mei 2011

Seberapa tangguh karakter anda : Kecerdasan untuk Bertahan (AQ)

Adversity quotient…

Ada yang pernah denger? Mungkin AQ ini kalah pamor dibanding IQ atau EQ?

Padahal…

Adversity Quotient atau AQ adalah kecerdasan untuk bertahan dan mengatasi setiap kesulitan hidup lewat perjuangan.

AQ menunjukkan kadar kemampuan seseorang untuk mengatasi kemelut tanpa putus asa. Siapa yang bertanggung jawab membentuk sebuah AQ yang kokoh dan kuat? Jawaban yang paling relevan adalah orang tua. Karena “kaderisasi” kita sejak kecil ini dibentuk berdasarkan bagaimana kita diarahkan untuk menghadapi kehidupan ini sejak kita kecil hingga tumbuh dewasa…

Kok bisa? Karena memang orang tua juga lah yang paling bertanggung jawab pada rendahnya AQ seseorang. Bagaimana seorang anak ketika kecilnya sering dimanjakan, contohnya “dibebaskan” dari berbagai tugas agar bisa berkonsentrasi ke pendidikan akademik semata…”semata”. Mungkin jika seperti itu, hanya hardskill saja yang didapat, softskill mungkin bisa dilatih, tapi lifeskill? Kemana kah nanti larinya?

(INTERMEZZO) Sebenarnya di kalangan pendidikan tinggi sekarang, pengertian akademik juga sedang tereduksi karena lebih terfokus pada “pendidikan dan pengajaran” saja, padahal pengertiannya ini juga mencakup “penelitian” dan “pengabdian masyarakat”. Pengertian “akademik” yang tereduksi inilah yang digunakan sekarang…

Lanjut lagi. Kegiatan yang memanjakan dan membebastugaskan anak agar fokus ke akademik, secara sederhana contohnya adalah dengan antar-jemput, hingga contoh besarnya yaitu orang tua yang terlalu fokus dalam mencari uang untuk biaya pendidikan hingga melupakan peran emosional dan peran spiritualnya bagi sang anak. Keadaan seperti ini, menurut Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah hati, yang akan menyebabkan rendahnya AQ anak. Elly Risman juga lah yang menyatakan bahwa orang tua adalah sosok yang bertanggung jawab pada AQ seseorang.

Untuk anak dengan AQ rendah, Elly mengibaratkannya dengan laron, mudah diterbangkan kemana-mana, namun mudah terpengaruh lingkungan yang buruk, tak tangguh menghadapi godaan materialisme, narkoba hingga pornografi. Tidak memiliki sebuah karakter yang kuat.

AQ ini sangatlah diperlukan dalam proses menjadi dewasa hingga ketika membina keluarga nantinya.

Meskipun atas dasar rasa sayang, orang tua bukan berarti terus melimpahi anaknya dengan kenyamanan sehingga konsentrasinya hanya untuk sekolah. Karena anak harus sukses menjadi master dan berpenghasilan besar, begita kata Elly. Justru, hal ini dapat menyebabkan anak yang tak pernah belajar keterampilan hidup sehari-hari yang lebih membentuk sebuah karakter. Di saat dewasa, ia hanya menjadi manusia akademis yang sukses, tapi tak berkesempatan tumbuh menjadi sosok berkepribadian matang, seperti sebuah karakter berikut…Sindrom Peter Pan

Sindrom peter pan:

- Terbiasa hidup nyaman

- Tidak suka bekerja keras

- Suka kegiatan yang banyak bermain

- Tidak pernah bertanggung jawab

- Tidak ingin menjadi dewasa dan mandiri

- Tidak berani mengambil keputusan atau mengambil resiko

- Kurang percaya diri

- Tergantung pada orang lain

- Suka melawan

- Pemberontak

- Sulit berkomitmen

- Mudah marah jika keinginan tak terpenuhi

- Sulit menerima kritikan

- Mudah sakit hati

- Cinta diri sendiri berlebihan

- Senang memanipulasi

Nah, bagaimana dengan kita? Kita bukan seorang anak-anak lagi sekarang. Lalu, Dimana kita bisa belajar sesuatu yang tidak didapat di bangku kuliah sekarang ini? Bagaimana pula kita ingin membentuk karakter anak kita nanti?

Diambil dan diolah dari harian Republika minggu 1 mei 2011