Rabu, 09 Juni 2010

tanpa judul

ANUGERAH TERINDAH MILIK KITA

Ringkih dan renta karena ditelan usia, namun tampak tegar dan bahagia. Ikhlas, memancarkan selaksa cinta penuh makna yang membias dari guratan keriput di wajah. Tiada yang berubah sejak saat dalam buaian, hingga sekarang mahkota putih tampak anggun menghiasinya. Dekapannya pun tak berubah, luruh memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Jemari itu memang tak lagi lentik, namun selalu fasih menyulam kata pinta, membaluri sekujur tubuh dengan doa-doa. Kaki tampak payah, tak mampu menopang tubuhnya. Telapak tempat surga itu pun penuh bekas darah bernanah, simbol perjuangan menapak sulitnya kehidupan.

Ibunda…

Adakah saat ini kita terenyuh mengenangkannya? Ia adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki setiap manusia. Sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi. Hingga kerelaan, keikhlasan dan kesabaran selama 9 bulan pun bagai menuai pahala seorang prajurit yang sedang berpuasa namun tetap berperang dijalan Allah.

Selaksa cinta ibunda yang dibaluri tsaqofah islamiyah (wawasan keislaman) telah menyemai banyak pahlawan islam. Teladan Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq melahirkan pahlawan Abdullah ibnu zubair, yang dengan cintanya masih berdoa agar dirinya tidak mati sebelum mengurus jenazah anaknya yang disalib Hajjaj bin Yusuf, antek bani Umayyah. Polesan warna seorang ibunda, Al-Khansa, melahirkan putra-putra kebanggaan islam yang berani dan luhur akhlaknya, hingga satu persatu syahid pada perang qadisiyah. Di sela kesedihannya, ibunda masih berucap, “Alhamdulillah…Allah telah memberikan keutamaan dan karunia padaku dengan kematian anak-anakku sebagai syuhada. Aku berharap semoga Allah mengumpulkan aku dengan mereka dalam rahmat-Nya kelak.”

Banyak…sungguh teramat banyak cinta ibunda yang melahirkan kisah-kisah teladan. Yatim seorang anak pun tidaklah menghalangi ibunda untuk merangkai sejarah dengan tinta emas. Terbukti dengan mekar harumnya para mujtahid Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal serta Imam Bukhori. Didikan ibunda mereka telah mampu mendidiknya hingga menjadi anak-anak yang gemar menuntut ilmu tanpa kenal lelah, bahkan mandiri dalam kemiskinan.

Kita mungkin dilahirkan dari rahim seorang perempuan biasa. Bahkan kita pun tidak dilahirkan untuk menjadi seorang pahlawan. Namun, ibunda kita dan ibunda mereka adalah sama, sebuah anugerah terindah dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Saat dewasa, tapak kaki telah kuat menjejak tanah dan tangan pun terkepal ke angkasa, masihkah selalu ingat ibunda? Cita-cita telah tergenggam di tangan, popularitas, kemewahan hingga dunia pun telah takhluk menyerah kalah, tunduk karena ketekunan, jerih payah serta kerja keras tiada hentinya. Haruskah sombong dan angkuh hingga kata-kata menyakitkan begitu gampang terlontar?

Duhai jiwa, sekiranya engkau sadar bahwa tanpa doa ibunda, niscaya semua masih angan-angan belaka. Astaghfirullah…ampuni diri ini ya Allah.

Duhai ibunda…

Maafkan jika mata ini pernah sinis memandang, dan lidah yang pernah terucap kata makian hingga membuat luka hatimu. Maafkan pula kalau kesibukan menghalangi untaian doa terhatur untukmu. Ampuni diri ananda yang tak pernah bisa membahagiakanmu, Ibunda.

Sungguh, jiwa dan jasad ini ingin terbang ke angkasa lalu luruh di pangkuan, mendekap tubuh sepuh, serta menangis di pangkuanmu. Hingga terhapuskan kerinduan dalam riak anak-anak sungai di ujung mata. Rengkuhlah ananda dengan belai kasih sayangmu bagai masa kecil dulu. Mengenangkan indahnya setiap detik dalam rahimmu dan hangatnya dekapanmu. Buailah dengan doa-doa hingga ananda pun lelap tertidur disampingmu.

Duhai ibunda…

Keindahan dunia tak akan tergantikan dengan keindahan dirimu.

Indah…semua begitu indah dalam alunan cintamu, menelisik lembut, membasahi loronghati dan jiwa yang rindu kasih sayangmu.

Duhai ibunda…

Bukakanlah pintu ridhomu, hingga Allah pun meridhoiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar